Disscusion Forum | Member's Area
Hasan Zein Mahmud
Federal Open Market Committee (FOMC) dalam sidangnya 18 September lalu memutuskan untuk memangkas tingkat bunga Federal Fund Rate (FFR - tingkat bunga overnight loan antar bank di Amerika Serikat) dengan 50 basis points dari 5,25% menjadi 4,75%. Pasar keuangan dunia gonjang ganjing. Negara Negara Eropa merasa bahwa kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) tersebut akan menekan pertumbuhan ekonomi mereka, dan mendesak agar Bank Sentral Eropa segera mengikuti jejak The Fed menurunkan tingkat bunga. Di AS sendiri, Wall Street menunjukkan eforia dengan naiknya Dow Jones Industrial Average sebesar 2,8% selama seminggu sejak kenaikan tersebut, mendekati rekor tertinggi 14.000.42 pada 19 Juli lalu. Green back melemah terhadap hampir semua mata uang, baik hard currencies maupun soft currencies.
Negara berkembang ikut menimati durian runtuh. Tak terkecuali Indonesia. Rupiah yang loyo beberapa minggu terakhir, tiba-tiba meloncat dan menggeliat, menunjukkan keperkasaannya terhadap US$. Uang panas menyembur-nyembur melahap aktiva keuangan mulai dari SUN, SBI, obligasi korporasi dan saham. Selama dua hari sejak penurunan FFR tersebut, investor asing telah melakukan pembelian neto surat-surat berharga tersebut senilai Rp 11 triliun (Kompas 21 September 2007). Bahkan saham Dharma Hanwa yang sedang melakukan IPO pun ikut terpanggang menjadi hot issue, mengalami oversubscribed lebih dari 10 kali (Kompas 24 September 2007)
Pemangkasan FFR, sebenarnya dipicu leh krisis sub prime mortgages, yang meletus mulai Juli lalu. Sub prime mortgages adalah kredit KPR yang ratingnya rendah dan berbunga tinggi. Sektor perumahan memang merupakan salah satu penopang pertumbuhan ekonomi AS. Dan seperti beberapa Negara maju lainnya, sektor properti sering terbukti punya kontribusi besar terhadap bubble economy.
Padahal peran sub prime mortgages itu sendiri tak seberapa berarti. Nilainya, - termasuk derivative dalam bentuk mortgages back securities - tidak lebih dari 10% dari total kredit perumahan yang outstanding di AS. Fasilitas sub prime mortgages itu sendiri dinikmati oleh kurang dari 1% penduduk AS, terutama digunakan untuk membeli rumah-rumah supermewah di lokasi- lokasi eksklusif semacam Hollywood. Cuma memang, credit crunch tersebut telah merugikan banyak bank besar, termasuk bank-bank asing yang beroperasi di AS. Lebih dari itu, krisis sub prime mortgages ini dapat meruntuhkan pamor seluruh US denominated asset dan pasar keuangan secara keseluruhan, yang menjadi tulang punggung kemakmuran Amerika. Karena itu perlu dibela.
Bongkar pasang tingkat bunga ala Otoritas Moneter AS ini memang sunguh menarik dan sekaligus kontroversial. Tarik ulur tingkat bunga, menurut para pakar memiliki tujuan utama untuk memacu pertumbuhan ekonomi (dengan memangkas) atau mengerem laju inflasi (dengan menaikkan) Coba simak beberapa catatan berikut: Selama periode 1989 - 1993 The Fed pernah memangkas FFR sebanya 23 x tanpa interupsi dari 9,75% menajdi 3%. Periode 2001 - 2003 FFR diturunkan sebanyak 16 kali dari 6,5% menjadi 1% di tahun 2004. Dari Mei 2004 sampai Juni 2006 The fedmenaikkan FFR sebanyak 13 kali dari 1% menjadi 5,25%. Nah, justeru kenaikan beruntun yang paling akhir itulah yang dituding menjadi biang kerok krisis sub prime mortgages.
Penurunan FFR kali ini juga tak kalah kontroversi. Ekonomi AS mengalami pertumbuhan yang cukup normal, defisit anggaran tidak lebih parah dari periode-periode sebelumnya, sementara inflasi masih mengintai di depan mata. Dalam pernyataannya The Fed mengemukakan persoalan ini dengan jelas: "Economic growth was moderate during the first half of the year, but the tightening of credit condition has the potential to intensify the housing correction and to restrain economic growth more generally". Jelas bahwa yang titik fokus kebijakan adalah menolong krisis perumahan lebih jauh.
Beberapa manajer investasi besar - seperti Pacific Management Investment Co, Payden & Rygel - berspekulasi bahwa The Fed akan melanjutkan aksinya memangkas FFR pada sidang sidang FOMC yang akan datang. Ini berlawanan dengan sinyal yang diberikan oleh The Fed sendiri yang menyatakan "the risk of higher inflation remains"
Di dalam negeri, penurunan FFR telah menaikkan differential interest rate SBI - FFR menjadi 350 basis points dari sebelumnya 300 basis points. Ini faktor dominant yang mendorong uang panas menyerbu masuk. Banyak analis yang berargumentasi bahwa peluang Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat bunga semakin besar. Penurunan SBI, seperti pernah saya tulis di ruang ini beberapa waktu lalu, memang diperlukan untuk mempersempit net interest margin perbankan dan memacu fungsi intermediaries perbankan. Namun saya berpendapat peluang penurunan BI Rate itu sangat kecil. Ada empat alasan yang bisa saya kemukakan: potensi inflasi tinggi mengintai di hari-hari besar keagamaan yang segera datang, spread 350 basis points SBI - FFR secara historis masih sangat kecil, BI harus memantapkan strategi melawan gelombang reversal uang panas, dan tidak kecil peluang The Fed akan menaikkan kembali FFR dalam waktu dekat ini.
Jakarta 26 September 2007