Disscusion Forum | Member's Area
Kebijakan dividen adalah budaya perusahaan. Perusahaan publik di Amerika Serikat memiliki kebiasaan mengumumkan dividen setiap triwulan. Jangan keliru. Pengumuman itu bisa beirisi pembayaran dividen, - yang bisa naik atau turun dibandingkan dengan deividen triwulan lalu - atau pengumuman bahwa perseroan tidak membayar dividen. Dividen memang bukan kewajiban suatu perseroan, walau pun merupakan hak pemegang saham. Ia baru menjadi kewajiban atau hutang setelah diputuskan dan diumumkan.
Sebelum pengumuman resmi, perusahaan publik di AS tersebut biasanya akan menyebarkan rilis kepada para pemegang saham sebagai signaling process. Dalam rilis semacam itu, biasanya termuat kondisi perseroan terkini, laba per saham triwulanan, naik atau turun dibandingkan triwulan lalu, sebab-sebab kenaikan atau penurunan, perkiraan kinerja triwulan yang akan datang, dan perkiraan dividen yang akan segera diumumkan. Dengan budaya seperti itu, maka besarnya dividen perusahaan publik di Negara ini bukan sesuatu yang sulit untuk diprediksikan.
Kebijakan dividen adalah budaya perusahaan. Di Indonesia, perusahaan publik memang diwajibkan Otoritas Pasar Modal untuk menjelaskan Kebijakan Dasar Dividen (KDD) dalam prospektus yang mereka terbitkan dalam rangka initial public offering. Ada perusahaan yang menetapkan KDD stabil dalam rupiah, ada pula yang menetapkan KDD stabil pay out ratio (nisbah antara dividen dan laba tahun berjalan) - ini dianut sebagian besar perseroan tbk di sini - dan ada segelintir yang dengan berani menetapkan KDD dengan pertumbuhan stabil dalam rupiah. Otoritas hanya mewajibkan perseroan menjelaskan KDD, teknis bagaimana proses pengambilan keputusan, besarnya, dan cara pembayarannya, diserahkan untuk diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan dan atau kebijakan perseroan lainnya.
Sampai di sini, kebijakan dividen masih merupakan bagian dari budaya perusahaan. Karena itu perusahaan publik di Indonesia, pada umumnya mengumumkan dividen dua kali setiap tahun anggaran. Kebiasaan semacam itu pula yang kemudian menjadi terminologi sendiri di pasar modal, yaitu dengan dikotomi "dividen interim" dan "dividen final". Dividen interim biasanya diputuskan oleh Rapat Direksi di tengah-tengah perjalanan tahun anggaran, setelah melihat kinerja perseroan selama semester pertama tahun anggaran.
Bagi perseroan terbuka yang tahun anggarannya berakhir 31 Desember setiap tahun, biasanya dividen interim dibayarkan pada triwulan terakhir tahun berjalan. Dividen final diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan memperhitungkan dividen interim yang telah dibayarkan sebelumnya. Jadi kalau RUPS memutuskan dividen per saham sebesar Rp 250,- dan telah dibayar Rp 100,- sebagai dividen interim, maka dalam dividen final, setiap pemegang saham akan memperoleh sisanya, Rp 150,- per saham.
Mayoritas anggaran dasar perusahaan publik yang tahun anggarannya berakhir 31 Desember menetapkan bahwa RUPS Tahunan wajib diselenggarakan sebelum akhir Juni tahun berikutnya. Otoritas Pasar Modal mewajibkan perseroan terbuka itu menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit paling lambat 31 Maret tahun berikutnya, setelah tahun buku perseroan berakhir. Itu sebabnya, dividen final pada umumnya diputuskan pada RUPS Tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan April - Mei - Juni setiap tahun.
Lalu apa yang terjadi kalau budaya perusahaan yang telah berjalan bertahun-tahun itu tiba-tiba "direcoki" oleh Undang-Undang? UUPT yang baru bulan lalu disahkan mengatur bahwa dividen interim hanya boleh dibayarkan kalau direksi perseroan yakin bahwa perseroan akan memperoleh laba untuk tahun buku yang sedang berjalan. Kalau perkiraan itu meleset, maka dividen yang telah dibayarkan wajib dikembalikan oleh para pemegang saham, dan kalau pemegang saham tidak dapat mengembalikan maka direksi wajib mengganti
Hah! Saya terus terang, terus gelap! Apa perlunya aturan semacam itu masuk dalam undang-undang. Yang jelas kalau saya berada pada posisi direksi perseroan, saya tidak akan pernah mau memutuskan pembayaran dividen interim. Memutuskan dividen interim berarti memikul seluruh risiko bisnis yang dihadapi perusahaan selama sisa tahun anggaran. Teman saya lebih sinis lagi: "kalau budaya perusahaan sudah dujungkir-balikkan oleh undang-undang, mending kita tidak berbudaya saja sekalian"
Karena itu, saya ingin menutup kolom ini dengan mengutip kalimat kampanye calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama: "Let us stop fighting the wrong war, and start fighting the war we need to win"
Jakarta menjelang Hari Kemerdekaan RI