Disscusion Forum | Member's Area
Wajah industri perdagangan berjangka di tanah air semakin kusam, buram dan muram. Paling tidak kalau jumlah pengaduan nasabah yang masuk ke BBJ dijadikan indikator. Selama tahun 2006 BBJ menerima 160 pnegaduan nasabah yang melibatkan 38 Anggota Bursa (AB). Dengan beberapa upaya perbaikan yang dilakukan BBJ, bersamaan dengan sanksi administrtatif tanpa kompromi selama setahun, saya tadinya berharap jumlah pengaduan itu akan berkurang pada 2007. Harapan itu nampaknya masih tetap merupakan harapan kosong, setidaknya pada tahun 2007 ini. Selama tujuh bulan pertama, tahun ini, BBJ telah menerima 112 pengaduan nasabah yang melaporkan 25 AB. Kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (Januari-Juli 2006), yang mencatat 108 pengaduan terhadap 24 AB, terjadi kenaikan sekitar 4%
Di balik angka itu yang lebih merisaukan adalah kualitas pelanggaran pun meningkat, mulai dari kejahatan / pelanggaran pidana dalam bentuk penyalah-gunaan dana nasabah, membohongi masyarakat dengan menjanjikan keuntungan pasti, menerima setoran dana nasabah sebelum risk disclosure dan customer's agreement ditandatangani, pemberian kuasa mutlak kepada tenaga pemasaran pialang untuk mengelola rekening, hingga pelanggaran administrative seperti terlambatnya konfirmasi transaksi dan laporan posisi ekuitas kepada nasabah. Dana nasabah yang menguap dari kejahatan pidana pun melibatkan nilai yang semakin besar dari waktu ke waktu. Karena itu, tanpa upaya pembenahan yang serius dan terfokus, industri perdagangan berjangka punya peluang mengalami set back karena ongkos sosial pembelajaran yang harus dibayar, terlalu mahal
Pengaduan itu sendiri, sebenarnya bukalah suatu hal yang negatif. Ia merupakan petunjuk bahwa masyarakat mulai mengerti mekanisme perdagangan berjangka, termasuk hak dan kewajiban mereka sebagai nasabah. Ambil contoh Sistim Perdagangan Alternatif. Dari transaksi over the counter yang tadinya ranah no man's land yang unregulated kini bergeser menjadi kegiatan yang, to some extent, regulated. Dari industri yang tadinya sama sekali tak menyediakan tempat mengadu, menjadi industri yang memilki payung peraturan publik dan lembaga tempat mengadu dan berlindung.
Inti persoalan terletak pada cara kita menyelesaikan pengaduan. Upaya penyelesaian pengaduan hanya memiliki makna bila hak-hak masyarakat semakin terlindungi, dan para pelaku pelanggaran menjadi jera. Mari kita konstruksikan anatomi pengaduan nasabah sebagai berikut:
Setiap pengaduan nasabah, mengandung sekurang-kurangnya menyangkut salah satu dari 3 (tiga) unsur: kemungkinan pelanggaran administratif yang dilakukan oleh Pialang; sengketa keuangan antara nasabah dan pialang (termasuk di sini trik para nasabah nakal untuk mencari keuntungan melalui lobang-lobang peraturan); dan pelanggaran / kejahatan pidana yang dilakukan oleh perusahaan Pialang
Seluruh pelanggaran administratif yang dilakukan oleh perusahaan pialang, telah direspons oleh BBJ sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk Peraturan Tata Tertib BBJ yang telah disetujui Otoritas. Sederet panjang daftar AB yang telah dicabut keanggotaannya oleh BBJ. Perlu dicatat bahwa pencabutan keanggotaan merupakan kewenangan pamungkas yang diberikan oleh Undang-Undang kepada BBJ.
Dalam hal penyelesaian sengketa keuangan antara nasabah dan pialang, yang bisa dilakukan oleh BBJ terbatas pada memfasilitasi musyawarah dan forum mediasi di depan Komite khusus yang dibentuk oleh BBJ. BBJ sama sekali tidak memiliki kewenangan judisial. Sekali lagi BBJ tidak memiliki keweangan Judisial. Oleh karena itu, bila dalam forum musyawarah dan mediasi tidak terjadi kesepakatan, maka itulah hasil paling jauh yang bisa dijangkau BBJ. Dalam konteks ini, sangat mendesak hadirnya lembaga arbitrase khusus yang memiliki kewenangan judisial dalam menyelesaiakan sengketa keuangan tersebut dengan cepat, efektif dan murah. Keberadaan lembaga arbitrase semacam itu merupakan salah satu amanat UU 32 Tahun 1997 yang hingga kini belum terrealisasikan.
Namun yang paling krusial, menurut saya, adalah ditemukan bukti-bukti yang sangat sahih tentang adanya kejahatan / pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pialang. Dalam banyak kasus, perlakuan terhadap kejahatan / pelanggaran pidana tersebut direduksikan menjadi sanksi administratif.
Padahal, mereduksikan penegakan terhadap kejahatan / pelanggaran pidana hanya dengan sanksi administratif adalah sangat kontraproduktif. Selain tidak menjadi faktor penjera, juga memicu moral hazard. Bila satu perusahaan pialang melakukan kejahatan pidana dengan menyalah-gunakan dana nasabah sebesar Rp 10 miliar, misalnya, dan hukumannya hanya pencabutan Surat Persetujuan Angggota Bursa, maka hukuman semacam itu akan menjadi insentif dan pelatuk bagi pialang lain untuk melakukan pelanggaran yang sama dalam skala yang lebih besar.
Karena itu, kolom ini saya tutup dengan mengutip kalimat kampanye calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama: "Let us stop fighting the wrong war, and start fighting the war we need to win"
Jakarta 13 Agustus 2007