Disscusion Forum | Member's Area
Harga minyak goreng curah di tingkat ritel, minggu kedua Mei ini, mencapai Rp 8.000 per kg, naik sekitar 35% dari harga awal tahun. Kenaikan itu meresahkan pemerintah, yang menetapkan rentang harga minyak goreng pada tingkat konsumen antara Rp 6.500 sampai Rp 6.800 per kg. Berbagai program lalu dirancang, mulai dari operasi pasar (OP) yang melibatkan - lebih tepatnya "memaksa" - para pelaku pasar, sampai "ancaman" menaikkan Pajak Ekspor (PE) CPO bila harga minyak goreng bertahan di atas Rp 6.800 per kg. Begitu seriusnya pemerintah hingga berita tentang pertemuan antara pemerintah dan commercial interest - produsen CPO dan para refinery yang tergabung dalam Gapki (gabungan Pengusaha Keplapa Sawit), AIMMI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia) dan GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia) - memenuhi head line media massa. Tak kurang dari Presiden sendiri ikut menyampaikan pesan, dan Wakil Presiden ikut langsung menetapkan target OP.
OP minyak goreng yang dilakukan pemerintah menjungkir-balikkan logika bisnis. OP seyogianya dilakukan oleh pemerintah melalui mekanisme pasar, dengan menyediakan subsidi untuk menolong mereka (terutama kelompok subsisten) yang menderita akibat fluktuasi harga kebutuhan pokok. Beberapa Negara Eropa, misalnya, melakukan intervensi harga kentang yang mejadi salah satu bahan makan pokok masyarakat. Caranya: pemerintah menetapkan harga minimal yang bisa diperoleh para petani. Kalau harga pasar lebih baik daripada harga yang ditetapkan pemerintah, para petani bebas menjual kentangnya di pasar, sebaliknya bila harga pasar lebih rendah, pemerintah akan menampung semua produksi kentang petani pada tingkat harga yang ditetapkan. Kebijakan semacam itu, diperlukan karena bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, marjin keuntungan menanam barley lebih tinggi ketimbang menanam kentang.
Ketika Dewan Moneter Indonesia, pada zaman pra-krisis dulu, menetapkan band kurs rupiah terhadap UD$, Bank Indonesia wajib menampung seluruh pembelian dan penjualan dolar yang dilakukan pelaku pasar pada rentang band yang ditetapkan. Ketika pemerintah menetapkan harga dasar gabah untuk petani, seyogianya pemerintah, melalui Bulog, melakukan mekanisme seperti yang dilakukan oleh Negara-negara Eropa di atas. Tanpa dukungan buffer fund yang besar, harga dasar gabah yang selalu ditetapkan pemerintah tidak pernah menyentuh petani. Para petani tetap harus menjual gabahnya kepada para tengkulak atau rentenir pada tingkat harga yang jauh lebih murah ketimbang harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. Bulog lebih senang membeli dari para tengkulak, sehingga tujuan penetapan harga dasar menjadi tidak tercapai.
OP minyak goreng lebih sadis. Memaksa para pelaku pasar, terutama unit pelaku swasta, untuk betransaksi pada tingkat harga yang diinginkan pemerintah, adalah sebuah bentuk penganiayaan kepada pelaku bisnis. Memaksa para refinery minyak goreng untyuk menjual minyak goreng curah pada harga Rp 6.100, ketika harga lelang CPO, bahan mentah minyak goreng, berada di atas Rp 7.000 per kg adalah penganiayaan. Memaksa produsen CPO untuk menjual kepada para prosesor pada harga yang diinginkan pemerintah ketika harga CPO mencapai rekor tertinggi, adalah sebuah praksis ekonnomi komando.
Sikap pemerintah yang "kebakaran jenggot" menurut saya lebih dimotivasi oleh kekhawatiran meningkatnya inflasi bulanan ketimbang "keprihatinan" terhadap rumah tangga subsisten. Saya sendiri tidak mampu menghitung berapa dampak kenaikan harga minyak goreng tersebut terhadap kenaikan inflasi bulanan. Namun deflasi bulan April lalu, pada saat harga minyak goreng telah merangkak naik, bisa menggiring saya pada kesimpulan bahwa kenaikan minyak goreng tidak memiliki dampak yang sangat sigifikan terhadap inflasi bulan berjalan. Yang paling terpukul, boleh jadi adalah industri makanan. Namun hingga saat ini saya belum membaca satu studi pun yang menghitung besarnya andil kenaikan harga minyak goreng tersebut terhadap kenaikan biaya produksi rata-rata yang dipikul industri makanan.
Harga CPO memang benar telah naik lebih dari 30% sejak awal tahun, dan kini bertengger di rekor tertinggi pada RM 2.569 atau US$ 755 per ton, dipacu oleh naiknya permintaan dan turunnya cadangan persediaan minyak goreng Malaysia. Kenaikan permintaan itu, menurut beberapa media massa, didorong oleh meningkatnya penggunaan CPO termasuk untuk energi alternatif dan antisipasi turunnya produksi kedele dunia.
Bagi rumah tangga subsisten, kenaikan harga minyak goreng bukanlah persoalan yang terlalu serius. Tidak seserius kenaikan harga BBM, atau TDL atau bahkan harga pupuk. Rumah tangga dengan mudah mengganti minyak goreng kelapa sawit dengan minyak kelapa buatan sendiri, atau bahkan mengubah pola menu gorengan menjadi tim, rebus dan bakar.
Pajak Ekspor CPO yang kini sebesar 1,5 dari harga patokan memang belum dinaikkan pemerintah. Dalam konteks itu, pertanyan berikut masih sangat relevan: Efektifkah kenaikan PE-CPO dalam mengerem laju kenaikan harga minyak goreng? Saya cenderung menjawab tidak! Kenaikan tarif PE-CPO membawa jauh lebih banyak persoalan ketimbang mafaat. Pertama, sebagai Negara pengekspor CPO terbesar dunia, kenaikan tariff PE-CPO akan serta merta menaikkan harga CPO dunia, yang pada gilirannya tentu akan menaikkan ongkos produksi minyak goreng, setidaknya dalam kalkulasi bisnis. Kedua, diskrepansi yang tajam antara harga domestik dan internasional membuka peluang maraknya penyelundupan
Ketiga, keinaikan PE-CPO mengurangi kesempatan emas untuk memacu ekspor CPO dan produk-produk derivatnya, ketika harga global sedang mencapai puncaknya, seperti saat ini. Indonesia, baik secara sendiri apalagi bersama dengan Malaysia, berada pada posisi price maker CPO. Kenaikan harga seperti sekarang ini, merupakan kesempatan emas untuk meningkatkan nilai ekspor dan cadangan devisa. Bukankah CPO adalah salah satu produk unggulan yang ingin dipacu peningkatan nilai ekspornya oleh pemerintah?
Jakarta Mei 2007